MAKALAH
TRAUMA SISTEM PERKEMIHAN
Disusun Oleh :
.........................
AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KAB.
SERANG
TAHUN
AJARAN 2014/2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan karunia_Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK) ini.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan keluarga yang membantu memberikan
semangat dan dorongan demi terwujudnya karya ini, yaitu makalah Pendidikan
Budaya Anti Korupsi (PBAK) ini.
Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu
kami, sehingga kami merasa lebih ringan dan lebih mudah menulis makalah ini.
Atas bimbingan yang telah diberikan, kami mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang juga membantu kami dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa teknik penyusunan dan materi yang kami
sajikan masih kurang sempurna.Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang mendukung dengan tujuan untuk menyempurnakan makalah ini.
Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat, baik itu bagi diri kami sendiri maupun
bagi pembaca.
Serang, 16 Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...............................................................................
i
DAFTAR
ISI..............................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia
1.
Era
sebelum Indonesia merdeka...........................................
3
2.
Era
pasca merdeka................................................................
8
3.
era
orde baru.........................................................................
10
4.
Era
reformasi........................................................................
11
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA 16
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Korupsi di indonesia telah mengakar
secara sistemik dalam segala aspek kehidupan dan telah merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Berbagai cara pemberantasan korupsi
telah dilakukan, namun praktik korupsi tetap subur dan berkembang pada setiap
sektor kehidupan masyarakat. Kegagalan upaya pemberantasan korupsi dimasa yang
lalu harus menjadi pemicu semangat kita untuk terus melakukan upaya lainnya
untuk dalam membrantas korupsi.
Korupsi di Indonesia sebenernya
sudah ada sejak zaman dahulu bahkan sejak periode sebelum kemerdekaan meskipun
istilahnya berbeda. Sejak masa pemerintahan kerajaan Singosari, Majapahit,
Demak dan kerajaan Banten berlanjut dimasa kolonial, masa orde lama, masa orde
baru dan terkuak lebar secara gemblang ke permukaan masyarakat pada era
reformasi ini. Terkuaknya korupsi ke permukaan publik saat ini berkat
berdirinya lembaga penegak hukum, bersama upaya pemberantasan dan pencegahan
korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan.
Tindak pidana korupsi yang terjadi
ini penting dikenali dengan baik agar strategi dan upaya-upaya pemberantasan
direncanakan secara baik dan tepat sasaran. Istilah yang perlu dipahami terkait
dengan korupsi adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sempat populer
menjelang jatuhnya kepemimpinan era orde baru. Dalam Undang-Undang nomor 31
tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi yang diperbaharui oleh Undang-Undang
nomor 20 tahun 2001, ada sedikitnya tujuh (7) jenis korupsi yang harus
diberantas.
Pasca reformasi, pemberantasan
korupsi telah menjadi fokus utama pemerintah. Berbagai upaya ditempuh baik
untuk mencegah maupun menindak tindak pidana korupsi secara serentak oleh
pemegang kekuasan eksekutif, Strategi Perbaikan Sistem dan Strategi Edukasi dan
Kampanye. Semua materi yang secara singkat diuraikan di atas akan dijelaskan
dalam modul ini.
1.2 Rumusan
Masalah
·
Bagaimana sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia?
1.3 Tujuan
·
Untuk mengetahui
sejarah perrkembangan korupsi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Korupsi di
Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era
Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Sejarawan di
Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi,
khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh
para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland
Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik
pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan
dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah
mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam
skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu
sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat
mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan
lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
1.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin
berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya
beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi
dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab
ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah
lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga
diantara kaum bangsawan belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar
(Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian
besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya
pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit
diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal
Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi
karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC
rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta
menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru
pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi
Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih
dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di
lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab
utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350
tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang
korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek
pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum
apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong
miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah
mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh
subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka
dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara
dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah
dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta
“berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada
waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan
rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh
masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda
pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya.
Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi.
Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan
korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau
diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir
mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford
Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816),
terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan
bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat
luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan,
gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan
komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar
karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah
terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih
dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan,
dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain
tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang
gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi
dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi
dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit
kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka
menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum
lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh
karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter.
Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi
sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin,
tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak
“penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu
turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga
melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan
kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada
Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga
mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung
belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai
pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil
pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa
daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi
harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para
pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain
menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang
harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang
dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 –
1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan
Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan
lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi
(rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur
Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar
hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi
ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS
sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau
praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang
artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru
atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti
ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti
apakah bentuk-bentuk pelanggaran CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut:
a)
Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari
tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi,
Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya
yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan
lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang
Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh
lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
b)
Tanah yang ditanami tersebut (1/5)
tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar
(meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
c)
Penduduk yang tidak rnempunyai tanah
diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5
bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan
ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri
maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
d)
Jika panen gagal akibat bencana alam
(banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung
pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang
diperhitungkan pada tahun berikutnya.
e)
Jika terjadi kelebihan hasil
produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan
kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para
pengumpul.
f)
Pelaksanaan CS akan diawasi langsung
oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda
Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidakmengenal
kornpromi.
2.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi”
yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik
di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan
dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan
belum bisa ditemukan.
Pada era di
bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah
pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni
Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu
tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi
formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara.
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut
mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu
tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran
akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun 1963
melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas
mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini
di kemudian hari dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan.
Dalam kurun
waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
“prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
3.
Era Orde Baru
Pada pidato
kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto
menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala
kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat
bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai
wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970,
terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen
Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya
gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi
Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A
Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun
kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi
di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang
ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
4.
Era Reformasi
Jika pada
masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan
elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan
Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan.
Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA
serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun
yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila
maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen”
alias “kelamaan”.
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman,
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini
dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim
Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas
korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di samping
membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa
menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan
di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses
pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung
Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser,
Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik.
Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat
karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan
Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di
mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar
negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul
Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi
putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet,
menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas
korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada
para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan
perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa.
Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Perjalanan
panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul
sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk
memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari agenda
yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan
merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan
korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh
banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang berimpilkasi pada perubahan
peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy pada DPR. Ketiga,
kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK salah satunya juga
disebabkan oleh persolan internal yang melanda system politik di Indonesia pada
era reformasi.
Di era
Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan
kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku
pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah
Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK
melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional
(structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional
dan hukum internasional.
Pemerintahan
boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia menginginkan
pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam pemberantasan korupsi.
Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi
telah disandarkan di pundak pemimpin baru negara ini yang akan memulai perjalanan
panjangnya pada bulan Oktober mendatang. Kemauan politik kuat yang ditunjukkan
untuk mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya akan
dicatat sebagai sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang
selama ini sudah dilakukan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pelajaran
sekaligus kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian tetang korupsi adalah
Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan.
Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih
baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.
Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari
elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di
Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari
otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.
DAFTAR
PUSTAKA
Pusat pendidikan dan pelatihan
tenaga kesehatan badan PPSDM kesehatan KEMENKES RI. 2014. Pelatihan Tenaga
Kependidikan tentang Pendidikan Budaya Anti Korupsi.
Wijayanto
; Zachrie, Ridwan [ed.]. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslim,
Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.]. 2004. Jalan
Panjang Menuju KPTK. Jakarta: Gerak Indonesia dan Yayasan Tifa.
Chalid,
Hamid ; Johan, Abdi Kurnia. 2010. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga
Zaman : Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: Masyarakat
Transparansi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar