Oleh
Nama :
NIM :
Kelas :
MATA KULIAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS SERANG
2015
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
tentang “Pancasila Sebagai Hakekat Bangsa Dan Negara Yang Mampu Membentuk
Karakter Dalam Membangkitkan Semangat Juang Dan Ketahanan Nasional”.
Makalah
ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin. Untuk itu, kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada ibu dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir
kata kami ucapkan terima kasih semoga makalah tentang “Hakikat Bangsa dan Negara Menurut Pola Pikir Pancasila” dan “Nilai Juang Pengembangan Karakter dan Ketahanan
Nasional”
ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Serang,
26 Oktober 2015
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pancasila adalah jati diri bangsa
Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa
Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa
dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan
kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa
daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda
satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
B. Tujuan
dan Kegunaan
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila
2. Untuk
mengetahui kaitan antara Pendidikan Pancasila dengan pembentukan karakter
bangsa
C. Metode
Penulisan
1.
Metode pengambilan data dari sumber-sumber bacaan
2.
Mencari bahan dari internet
3.
Mengumpulkan informasi
D. Sistematika
Penulisan
Di
dalam makalah ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
1. Pendahuluan
2. Pembahasan
3. Penutup
A. PENDIDIKAN PANCASILA
Pada hakekatnya pendidikan pancasila
adalah upaya sadar diri suatu masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk
menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya, selaku warga
masyarakat, bangsa dan Negara secara berguna (berkaitan dengan kemampuan
spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik)
serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu
terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, Negara, dan hubungan
internasionalnya.
Berdasarkan UU no. 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 2 menyatakan bahwa “ pendidikan Nasional Berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ”.
Berdasarkan UU no. 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 2 menyatakan bahwa “ pendidikan Nasional Berdasarkan pancasila dan UUD 1945 ”.
B. JATI
DIRI, KARAKTER, DAN KEPRIBADIAN
Jati diri adalah ”diri yang
sejati/sejatinya diri”. Secara budaya adalah ”ciri bawaan sejak lahir/merupakan
fitrah” yang menunjukkan siapa sebenarnya diri kita secara ”fisik maupun
psikologis”, bersifat bawaan sejak lahir (gift), serta merupakan sumber dari
watak/karakter dan totalitas kepribadian seseorang.
Karakter adalah ‘distinctive trait,
distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an
individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata
karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin
manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti;
tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa
karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan
netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu)
yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit
mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan
dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang
buruk.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Kepribadian, merupakan penampilan (lebih ke psikologis) seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan ini belum tentu mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan sangat bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jatidirinya.
Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan
besar yang dicetuskan para pendiri bangsa karena sebagai bangsa yang terdiri
atas berbagai sukubangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental, bangsa
Indonesiamembutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter yang
holistik sebagai bangsa. Hal itu sangat penting karena menyangkut kesamaan
pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan
Pembangunan karakter bangsa bertujuan untuk
membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan
masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Karakter bangsa adalah kualitas perilaku
kolektif kebangsaan yang khasbaik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman,
rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir,
olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok
orang.
Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya
kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara,
serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan
global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis,
berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkanPancasila dan dijiwai oleh iman
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila
artinya setiap aspek karakter harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara utuh
dan komprehensif yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Karakter
Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seseorang tercermin antara lain hormat dan bekerja
sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan, saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak
memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain.
2. Bangsa
yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Karakter kemanusiaan seseorang tercermin
antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat,hak, dan kewajiban; saling
mencintai; tenggang rasa; tidak semena-mena; terhadap orang lain; gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
3. Bangsa yang Mengedepankan Persatuan dan
Kesatuan Bangsa
Komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan
persatuan dan kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan
seseorang tecermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan,
dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
4. Bangsa
yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia
Karakter kerakyatan seseorang tecermin dalam
perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
5. Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan
Kesejahteraan
Karakter berkeadilan sosial seseorang tecermin
antara lain dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan
dan kegotongroyongan.
MEMBANGUN KARAKTER adalah Suatu proses atau
Usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan atau membentuk tabiat,
watak, sifat kejiwaan, ahlak (budi pekerti), insan manusia (masyarakat)
sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berdasarkan
nilai-nilai Pancasila.
Ciri-ciri karakter bangsa indonesia
· Adanya
saling menghormati & saling menghargai diantara sesama;
· Adanya rasa kebersamaan & tolong menolong;
· Adanya rasa persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa;
· Adanya rasa perduli dlm kehidupan bermasyarakat, berbangsa
& bernegara;
· Adanya
moral, ahlak yang dilandasi oleh nilai-nilai agama;
· Adanya
perilaku dlm sifat-sifat kejiwaan yang saling menghormati &
salingmenguntungkan;
· Adanya
kelakuan dan tingkah laku yang senantiasa menggambarkan nilai-nilai agama,
nilai-nilai hukum dan nilai-nilai budaya;
· Sikap
dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan.
Nilai-nilai yang membangun bangsa indonesia
1.
Nilai Kejuangan
2.
Nilai Semangat
3.
Nilai Kebersamaan / Gotong royong
4.
Nilai Kepedulian / Solidaritas
5.
Nilai Sopan santun
6.
Nilai Persatuan & Kesatuan
7.
Nilai Kekeluargaan
8.
Nilai Tanggung Jawab
Fakto
Fr-Faktor Dalam Membangun Karakter Bangsa Indonesia
1.
Ideologi
2.
Politik
3.
Ekonomi
4.
Sosial Budaya
5.
Agama
6.
Normatif ( Hukum & Peraturan Perundangan )
7.
Pendidikan
8.
Lingkungan
9.
Kepemimpinan
Nilai-Nilai
Karakter :
1. Penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa.
2. Tekad bersama untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka
dan bersatu.
3. Cinta akan Tanah Air dan Bangsa.
4. Demokrasi
dan Kedaulatan Rakyat.
5. Kesetiakawanan
Sosial.
6. Masyarakat
adil makmur.
Secara visual hubungan antara jatidiri, karakter dan kepribadian dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari konsep Pancasila tersebut yang melahirkan karakter-karakter
bangsa yang berbudi luhur sehingga tercipta Ketahanan Nasional merupakan
kondisi dinamis suatu bangsa berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional didalam menghadapi dan mengatasi ATHG
baik langsung, tidak langsung dari dalam maupun dari luar yang membahayakan,
Integrasi, idenditas kelangsungan hidup bangsa dan Negara serta perjuangan
mengejar tujuan Negara.
Secara skematis, rumusan konseptual ketahanan nasional dapat
digambarkan sebagai berikut.
Skema Konsepsi
Ketahanan Nasional
Dari sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep ketahanan
nasional Indonesia berawal dari konsep ketahanan nasional yang dikebangkan oleh
kalangan militer. Pemikiran konseptual ketahanan nasional ini mulai menjadi
doktrin dasar nasional setelah dimasukan ke dalam GBHN.
C. Beberapa
Manifestasi Krisis Karakter Di Indonesia
Dalam kasus Indonesia, krisis karakter,
mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi
masyarakat guna mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti
penyakit akut yang terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita
kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan
bermartabat di tengah-tengah bangsa lain di dunia.
Krisis karakter di Indonesia tercermin
dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan
kualitas kehidupan masyarakat luas. Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik
horizontal dengan kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak
diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter.
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Kesenangan merusak diri sendiri. Di
samping korupsi, memudarnya karakter di Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya
‘kesenangan’ dari sebagian warganya terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang
berdampak merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita- sendiri (act of self
distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi
masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia
sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat untuk
mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain terkesan
membiarkannya. Memecahkan perbedaan pendapat atau pandangan dengan menggunakan
kekerasan, secara sistematik mengobarkan kebencian untuk memicu konflik
horizontal atas dasar SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk
dari kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya
nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh
kembang bersama, secara damai, dalam kebhinekaan.
Hipokrisi atau Kemunafikan. Di atas
telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan
tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia
nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan keagamaan.
Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai masyarakat yang
hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan korupsi,
atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain, seperti juga mencuri,
dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah ‘keganjilan’ bahwa masyarakat yang
merasa riligius namun negaranya penuh korupsi. Lebih memprihantinkan lagi
adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling
korup adalah Departemen Agama . Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada
data yang dapat dipercaya, maka hal ini adalah contoh yang paling nyata dari
hipokrisi di Indonesia, di samping sekian banyak contoh yang lain. Hipokrisi
atau kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati
orang lain melakukan hal yang baik namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya.
Mentalitas makan siang gratis.
Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis’, adalah fenomena lain yang
menunjukkan krisis karakter. Ini adalah sikap mental yang memandang bahwa
kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, bisa dicapai dengan
menandahkan tangan dan dengan menuntut kekiri dan kekanan..
Kesenangan mencari kambing hitam.
Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu karakter
yang menghambat kemajuan. Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu
kita masih sering mendengar banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia
mencapai kemajuan lama sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda.
Dalam mencari penyebab rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing
hitam baru, konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi
golongan minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara
bertanya yang lain: ’Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita
beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari
jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika
Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai
sebagaian besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang
sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ’kami selalu benar’.
Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari pengalamannya sendiri, dan
kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena merasa bahwa tak ada yang
perlu diperbaiki pada diri kita.
D. Membentuk
Karakter Bangsa Lewat Pendidikan
Aspek pendidikan adalah aspek terpenting
dalam membentuk karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita
dapat melihat potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang
menentukan masa depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang
membanggakan bagi bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau
sebaliknya. Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki
karakter bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk
elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas
pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang
harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan,
faktor kelaikan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi
penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk
dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era
global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.
Pada masalah aspek otoritas pendidikan,
anak didik sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya
adalah anak didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’
dengan apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi
menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti
afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi
pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari,
karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di
bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa
toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti
ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?
Kita tidak tahu standar apa yang dipakai
dalam otoritas pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang
dihasilkan dari institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu
untuk menerapkan ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat
pendidikannya, apalagi untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter
anak didik dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan
berhasil menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi
bangsa. Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan
memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang
mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus
menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB,
UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn
to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar
untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat
dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi
bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa
aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu
yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan
jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.
Banyaknya faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak Faktor atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan formal.
Banyaknya faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak Faktor atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini akan dilihat peran tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu: keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan formal.
Keluarga adalah komunitas pertama di
mana manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak
pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang, sejak dia
sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang
diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah proses
pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan
seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa,
memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran,
kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia
sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia –berbeda
status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang
budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai
keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan
hidup yang berhasil, dan wawasan mengenai masa
depan.
Dari sudut pandang pentingnya keluarga
sebagai basis pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter yang
terjadi di Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan
gagalnya pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai
kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam
keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas tindakan yang korup,
akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin
tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur, namun mereka
cenderung tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur dalam kehidupan sebagai
salah satu nilai yang sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini
mungkin bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami
alih generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa, khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di sekolah.
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan karakter masyarakat atau bangsa adalah media massa, khususnya media elektronik, dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di sekolah.
Pendidikan formal. Pendidikan formal,
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam
pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat
dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak
berkontribusi dalam hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga
pendidikan formal yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah
salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan
keterampilan dan pengalihan pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan
mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada
pengalihan pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa
pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk
melakukan pelatihan daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir
menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang
perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan seorang guru diukur
dari kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk
menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa
secara praktek pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan
dikembangkan juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja
tidak dengan sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada
lembaga yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas,
institut teknologi, dan yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang
bermutu dapat dengan cerdas memakai kegiatan pelatihan menjadi kendaraan
efektif untuk pendidikan. Pelatih sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan
untuk menumbuhkan dan menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan
berbagi, berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan.
Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi proses-proses dan
program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan menjadi proses dan program
pelatihan. Di pihak lain belum nampak tanda-tanda kegiatan pelatihan
dimanfaatkan secara optimal sebagai wahana untuk pendidikan.
E.
Manfaat Pendidikan Pancasila Dalam
Membangun Karakter Bangsa
Pancasila adalah jati diri bangsa
Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa
Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa
dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan
kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa
daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda
satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya, dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi kesadaran manusia yang manusiawi.Tingkat kesadaran manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yang pembagiannya adalah sebagai berikut:
Sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan berbangsa dan bernegara yang implementasinya mewajibkan semua manusia Indonesia harus ber-ketuhanan. Karena keberadaan Tuhan melingkupi semua wujud dan sifat dari alam semesta ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri, dirinya dengan manusia-manusia lain di sekitarnya, dirinya dengan alam, dan dirinya dengan Tuhan. Keselarasan ini menjadi tanda dari manusia yang telah meningkat kesadarannya dari kesadaran rendah menjadi kesadaran manusia yang manusiawi.Tingkat kesadaran manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yang pembagiannya adalah sebagai berikut:
Kelompok 1
Yaitu
manusia yang berkesadaran rendah, dimana segala perilakunya hanya mementingkan
diri sendiri, dirinya selalu dikuasai oleh nafsu atau perilaku hewani dan
iblis. Mereka tidak bisa bekerja berorientasi ke luar dirinya, semuanya serba
keakuan atau berorientasi kepada kepuasan dirinya.
Kelompok 2
Kelompok 2
Yaitu
manusia yang sudah meningkat kualitas dirinya dari kualitas manusia rendah
kepada manusia yang manusiawi. Sifat dari orang yang sudah manusiawi ini pada
setiap pekerjaan berorientasi ke luar, tidak mementingkan dirinya sendiri,
melainkan berorientasi kepada masyarakat atau dunia sekelilingnya. Manusia yang
manusiawi ini, berwujud manusia, berpikir manusia, berhati manusia, berucap
manusia, berpandangan manusia, dan berbuat manusia. Mereka telah dapat
menyelaraskan antara pikiran, ucapan, suara hatinya, dan perbuatannya di dalam
segala tindakannya.
Kelompok 3
Yaitu
manusia yang berkesadaran ketuhanan. Manusia yang berada kelompok ini adalah
kelompok eksklusif atau kelompok yang langka, di mana kesadaran mereka sudah
sampai pada peleburan dengan kesadaran Tuhan. Mereka sudah tidak ada tujuan,
pandangannya sudah tidak mengandung dualisme lagi mereka telah menyatu dengan
Yang Maha Kuasa. Mereka telah mencapai tujuannya, mereka telah menjadi manusia
yang sempurna.
Dari tiga kelompok kesadaran manusia ini dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan sila pertama Pancasila, yaitu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, implikasinya manusia Indonesia secara ideal harus mencapai tingkatan manusia yang sempurna, manusia yang dapat meleburkan dirinya dengan Tuhan di dalam kehidupannya sekarang di dunia, atau dengan kata lain Insan Kamil.
Dalam rangka mewujudkan manusia yang sempurna ini harus melalui jalan yang terjal, jalan ini memang benar-benar ada bukan semata-mata hanya khayalan saja. Ada nama atau sebutannya pasti ada wujudnya, dan ada manusia yang sudah pernah mencapainya. Siapa mereka ? Mereka merupakan manusia yang suci yang kalau di Islam biasa disebut Wali Yullah, atau dalam agama lain disebut Budha atau Dewa dan lain sebagainya.
Sebelum mencapainya kita terlebih dahulu harus mengetahui karakter manusia yang berkesadaran rendah atau binatang. Pada manusia yang berkesadaran rendah setiap kualitas kerjanya akan berorientasi kepada kepentingan pribadi dan egonya, mereka itu selalu dikuasai oleh segala sesuatu yang ada di muka bumi atau segala sesuatu dari hasil kerjanya. Mereka tidak bisa memerdekakan dirinya dari segala perbudakan, mereka adalah tipe budak, mereka egois, serakah, tamak, jahil, jahat, berpikiran sempit dan lain-lain. Segala perbuatannya berorientasi keuntungan untuk diri sendiri. Tidak ada kesadaran akan ketuhanan, yang ada kelekatan akan segala sesuatu.
Karena begitu liarnya sifat kebinatangan dan keiblisan di dalam dirinya maka mereka itu sangat memerlukan suatu koridor hukum agar mereka dapat tertib dan terkendali. Yang harus ditertibkan yaitu sifat atau perilaku liarnya. Ajaran agama dan hukum-hukum yang lainnya sangat diperlukan untuk pengendalian diri. Gunanya agar sifat liar tersebut menjadi tertib. Kalau sudah tertib sifat liarnya maka mereka akan mudah mengendalikan diri dan dapat mengoptimalkan kemampuan dirinya, dan mereka dapat meningkat ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi yaitu manusia yang manusiawi.
Yang
tercantum sebagai sila pertama Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan
agama. Jika agama dicantumkan sebagai sila pertama, pasti keadaan menjadi kacau
karena banyak penganut agama dan penganut kepercayaan yang menjadi ribut
menginginkan agama atau kepercayaannya dijadikan sebagai landasannya sehingga
menimbulkan pandangan yang sempit. Akibatnya, kekacauan terjadi di mana-mana
dan tidak ada kesatuan.
Semua agama di mata Tuhan adalah sama adanya, tetapi di dalam pandangan manusia tidak sama karena agama adalah aturan atau sarana pengendalian yang di dalamnya mengandung hak dan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan di dalam kehidupan masing-masing penganutnya. Karena itu, manusia harus memilih dari sekian banyak agama sebagai aturan yang harus ditaati dan dijalankan dalam kehidupannya sendiri. Tidak boleh mengimani semua agama karena tidak akan dapat melaksanakan semua ajarannya. Harus memilih salah satu dari agama dan kepercayaan yang ada.
Semua agama baik dan benar jika para penganutnya dapat meningkatkan kesadarannya dari manusia yang berkesadaran rendah, naik menjadi manusia yang manusiawi atau kesadaran manusia, lalu naik ke tingkat "Kesadaran Ketuhanan". Apabila manusia meyakini suatu ajaran agama, tetapi ternyata mereka tidak meningkat kesadarannya malahan mereka tetap berada dalam kesadaran rendah, bahkan lebih rendah lagi maka yang salah bukan ajaran agamanya, melainkan para penganutnya yang salah kaprah atau salah dalam pemahamannya sehingga tidak ada perubahan kebaikan dalam kehidupannya, mereka itu merupakan manusia yang sesat.
Pada kondisi saat ini perilaku para pengikut ajaran agama memperlihatkan rendahnya kondisi kesadaran mereka. Mereka menyempitkan ruang lingkup agama itu sendiri dan mereka mengkotak-kotakkannya. Itu semua menjadikan mereka lebih buas dan sadis, mereka berpandangan sempit, kadang-kadang menyesatkan. Karena adanya kedangkalan akan ketuhanan maka mereka mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dari luar dan mereka mudah sekali diadu domba dan diperdaya oleh orang lain.
Zaman dahulu orang jahiliyah berperilaku kejam dan sadis karena belum ada agama yang masuk ke dalam dirinya. Sekarang meskipun agama masuk dan sudah ribuan tahun usia agama, kualitas dirinya bukannya lebih baik melainkan sebaliknya lebih jahiliyah dari sebelumnya. Ini menandakan bahwa setiap penganut agama memerlukan pembimbing yang sudah menyatu dengan Tuhan agar mereka mendapatkan pencerahan dari apa yang mereka anut.
Terlalu panjangnya rentang waktu antara kita dan penyebar agama menjadikan pandangan terhadap agama pun berubah. Untuk menghindari agar ajaran agama tidak menyimpang, kita memerlukan pembimbing yang sempurna. Apakah ada ? Ya, pasti ada. Hanya, bagaimana kita dapat mengetahui keberadaan mereka bila hati kita buta, dan kita masih tertidur lelap dalam kebodohan dan ketidaksadaran. Biarpun mereka ada di depan kita, kita tidak dapat mengetahuinya, kecuali kalau kita sudah terbangun dari kesadaran rendah, hati yang buta dapat melihat kembali. Dengan sendirinya kita dapat menyaksikan pembimbing sempurna tadi di dalam hidupnya.
Mengapa dalam sila pertama Pancasila harus berketuhanan dulu ? Tanpa ketuhanan semua menjadi mati tidak hidup karena Tuhan merupakan hidup itu sendiri ! Sekarang orang beragama tanpa ketuhanan maka agamanya menjadi mati tidak berjiwa, dan mereka akan berubah menyembah agama bukan menyembah Tuhan, atau primodial sempit. Kalau semua pemeluk agama sudah menyadari tentang ketuhanan masing-masing, tidak ada lagi pertentangan karena pertentangan itu hanya ada di kelompok bawah atau kesadaran rendah, dalam tataran kelompok "Kesadaran Ilahi" sudah tidak ada pertentangan dalam segala sesuatunya. Dengan Sila Ketuhanan sebagai sila pertama maka tidak ada lagi pertentangan antara satu dengan yang lain mengenai Tuhan yang melingkupi seluruh alam semesta ini.
Kalau sudah banyak jumlah penduduk Indonesia yang sudah ber-ketuhanan dalam tataran manusia yang manusiawi maka Pancasila sudah bisa menjadi pemersatu seluruh bangsa Indonesia, dan Indonesia sudah masuk dalam keadaan pencerahan dan kemakmuran.
Kalau kesadaran rendah yang menguasai rakyat Indonesia dan pemimpinnya maka keadaan Indonesia seperti hutan rimba. Rakyat dan pemimpin semua binatang (badannya manusia tetapi di dalamnya berisi sifat binatang) maka tidak akan ada kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.
Oleh
karena itu, pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia
dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja
tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban
manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia
(surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
Pada saat ini pembangunan fisik, teknologi, dan ilmu pengetahuan di dunia telah maju pesat, tetapi kondisi manusia menjadi jauh sekali dari kondisi manusia yang sempurna kemanusiaanya. Kita sekarang menjadi robot-robot hidup yang penuh dengan ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh penemuan manusia itu sendiri, tidak mengarah kepada kedamaian dan ketenangan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh manusia yang sudah sadar. Mereka tidak tahu arah hidupnya, mereka menjadi budak-budak konsumsi dari apa yang mereka ciptakan sendiri, yang akhirnya hati mereka mati. Mereka terlalu mempertuhankan apa yang mereka ciptakan, mereka terlalu diperbudak oleh otak kiri (akalnya) mereka. Mereka tidak mempergunakan kemampuan otaknya secara sempurna, yaitu menggunakan otak kiri, otak kanan dan bawah sadar, serta kekuatan hati nurani.
Karena kebimbangan serta stress yang berkepanjangan, mereka tidak dapat menemukan jati dirinya. Diri mereka selalu dihubungkan dan dilekatkan dengan dunia luar. Semua yang ada di luar dirinya menjadi melekat dan memperbudak mereka, mereka menjadi budak dan terpenjara selama-lamanya.
Oleh karena, itu kita harus berani merubah tatanan yang sudah mapan dalam kegelapan dan kebodohan ini. Bangun dan sadar dari apa yang mereka sadari, bangkitkan kemampuan mereka, cukup dengan satu orang yang sudah sampai ke dalam kesadaran ketuhanan, dia dapat menggunakan kekuatannya untuk membangunkan manusia yang terlena dalam kegelapan.
Jadi, sila pertama dalam Pancasila merupakan pengikat dan pemersatu bangsa serta harus diresapi dan dijalankan serta diraih dalam kehidupan manusia sekarang ini. Baik secara pribadi, kemasyarakatan maupun dalam bernegara. Jika semua kehidupan manusia Indonesia dijiwai dan dilandasi oleh sifat ketuhanan maka negara pun akhirnya menjadi berlandaskan ketuhanan. Kalau semua lini kehidupan berdasarkan ketuhanan maka kemakmuran dan keharmonisan dengan alam sudah menjadi milik bangsa Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia akan adil dan makmur serta menjadi mercu suar dunia.
Untuk menjalankan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, serta sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, semua ini dapat dilakukan jika manusia Indonesia meningkat sampai ke tingkat kesadaran manusia yang manusiawi. Jika manusia Indonesia masih belum berketuhanan maka sila-sila tersebut tidak dapat di jalankan karena mereka masih dalam kesadaran rendah dengan sendirinya mereka masih terpenjara oleh nafsu, ego, dan sifat-sifat rendah lainnya, tidak mungkin memikirkan orang lain, yang dipikir hanya dirinya sendiri saja.
Hanya manusia yang sudah berketuhananlah yang dapat melaksanakan sila-sila Pancasila dengan sebenar-benarnya. Inilah yang terpenting dalam bermasyarakat dan bernegara di Republik Indonesia, sebagai azas yang melandasi segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila diharapkan sebagai jalan hidup yang akan dapat mengatasi masalah yang paling mendasar dihadapi bangsa Indonesia, di samping Pancasila itu sendiri digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan pembangunan, ketertiban dan keamanan. Dengan begitu Pancasila akan dapat pula tetap menjadi falsafah dan ideologi bagi masyarakat Indonesia yang moderen.
Secara kreatif dan dinamis, Pancasila mampu memadukan antara aspirasi masa depan, menyelesaikan masa kini dan memberi harga pada masa lalu. Perjalanan sejarah membuktikan Pancasila mampu memberikan dasar yang kokoh bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan
Pancasila sangat bermanpaat dalam membangun karakter bangsa karena dengan
mempelajari pendidikan pancasila dapat menimbulkan kesadaran dalam diri manusia
itu sendiri, karena sesungguhnya pembangunan Indonesia harus mengarah kepada
kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun
secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan
merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat
tinggal manusia (surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
B. Saran
Dalam
membangun karakter bangsa sebaiknya dengan menerapkan nilai-nilai yang
terkandung pada pancasila karena jika suatu bangsa dapat mengamalkannya maka
akan terbentuk suatu bangsa berkarakter tangguh serta akan di dapati Negara
yang aman dan sejahtera.
DAFTAR
PUSTAKA
Sirnagalih
(2009). Pancasila Adalah Jati Diri Bangsa. From
http://id.sirnagalih.org/artikel/artikel-dari-guru/83-pancasila-adalah-jati-diri-bangsa-.html,
31 desember 2015
Gebe (2009). Membangun Karakter Dan Memperkuat Identitas Nasional Indonesia. From http://gebe.blogdetik.com/membangun-karakter-dan-memperkuat-identitas-nasional-indonesia/#more-44, 31 Desember 2009
Syahnakri (2009). Renungan Kebangsaan Dan Pancasila. From http://syahnakri.blogspot.com/2009/11/renungan-kebangsaan-dan-pancasila.html, 31 desember 2015
Hinu (2007). Pendidikan Membangun Karakter. From http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan--Pendidikan-Membangun-Karakter---Gede-Raka-p9632706.html , 31 desember 2015
Mardoto (2009). Urgensi pendidikan kewarganegaraan. From http://mardoto.wordpress.com/2009/03/06/seri-002-mahasiswa-urgensi-pendidikan-kewarganegaraan-menurut-saya/, 31 desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar