A.
Latar Belakang
Bisnis
adalah suatu kegiatan
perdangan namun meliputi unsur-unsur yang lebih luas yaitu pekerjaan, profesi,
penghasilan, mata pencarian, dan keuntungan. Dalam perkembangannya bisnis
menjadi suatu hal yang sangat penting sehingga tidak dapat dipisahkan dengan
berbagai macam ancaman bahkan perselisihan didalamnya.
Sengketa bisnis sudah menjadi hidangan yang bisa
dinikmati, dalam artian semakin berkembangnya sebuah bisnis semakin besar
resiko sengketa yang terjadi dalam bisnis itu, sehingga diperlukannya
penyelesaian sengketa bisnis yang cepat lugas dan akurat.
B.
Rmusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas beberapa
hal terkait latar belakang di atas diantaranya :
1. Apa pengertian dari sengketa bisnis?
2. Bagaimana urgensi alternatif
penyelesaian sengketa bisnis?
3. Bagaimana model-model penyelesaian
sengketa bisnis?
C.
Tujuan
2. Untuk Mengetahui bagaimana urgensi
alternatif penyelesaian sengketa bisnis.
3. Untuk Mengetahui bagaimana model-model
penyelesaian sengketa bisnis.
D.
Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah
kajian pustaka yang berupa Metode Kepustakaan (Library Research).dan Metode Penelusuran Internet (web
search).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sengketa Bisnis
Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton
“a commercial disputes is one which arises during the course of the exchange or
transaction process is central to market economy”. Dalam kamus bahasa Indonesia
sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau
pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang
terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai
hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang
menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang
suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara
keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa
Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau
lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi
hukum bagi salah satu diantara keduanya.[1]
B. Urgensi alternatif
Penyelesaian sengketa secara konvensional dilakukan
melalui sebuah badan yang disebut dengan pengadilan. Sudah sejak ratusan bahkan
ribuan tahun badan-badan pengadilan ini telah berkiprah. Akan tetapi, lama
kelamaan badan pengadilan ini semakin terpasung dalam tembok-tembok yuridis
yang sukar ditembusi oleh para pencari keadilan, khususnya jika pencari
keadilan tersebut adalah pelaku bisnis dengan sengketa yang menyangkut dengan
bisnis. Maka mulailah dipikirkan alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan
sengketa, diantaranya adalah lewat badan arbitrase.
Yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata
yang bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, di mana
pihak penyelesai sengketa (arbiter) tersebut dipilih oleh para pihak yang
bersangkutan. Yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan
perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan memberi putusan
terhadap sengketa tersebut.
Orang yang bertindak untuk menjadi penyelesai sengketa dalam arbitrase
disebut dengan “arbiter” =. Arbiter ini, baik tunggal mauoun majelis yang jika
majelis biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang. Di Indonesia syarat-syarat untuk
menjadi arbiter adalah sebagai berikut :
1.
Cakap dalam melakukan tindakan hukum.
2.
Berumur minimal 35 (tiga puluh lima) tahun.
3.
Tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa.
4.
Tidak mempunyai kepentingan finansial atau
kepentingan lain atas putusan arbitrase.
5.
Mempunyai pengalaman atau mengusai secara aktif
dalam bidangnya paling sedikit selama 15 (lima belas) tahun.
6.
Hakim, jaksa, paniteran, dan pejabat peradilan
lainnya tidak boleh menjadi arbiter.
Arbitrase (nasional maupun internasional) menggunakan prinsip-prinsip
hukum sebagai berikut :
1.
efisien.
2.
Accessibility (terjangkau dalam arti biaya, waktu
dan tempat)
3.
Proteksi hak para pihak.
4.
Final and binding.
5.
Adil (fair and just)
6.
Sesuai dengan sense of justice dalam masyarakat.
7.
Kredibilitas. Jika arbiter mempunyai kredibilitas,
maka putusannya akan dihormati orang.[2]
C. Model-model Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks
melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke
hari. Semakin meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula
tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya.
Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya :
1. Wanprestasi.
2. Perbuatan melawan hukum.
3. Kerugian salah satu pihak.
Berikut ini beberapa model penyelesaian sengketa selain pengadilan,
yaitu sebagai berikut :
1.
Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa
melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari
penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas,
mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan
atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di
pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara
pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak
berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi
mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang
mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah
compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator
memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan
terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have
may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no
the way).
Cara dan sikap
yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
a.
bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
b.
pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau
win-win,
c.
oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau
losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang
paling mennjol, antara lain:
a.
Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata
kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling
lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya
memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
b.
Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator
tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil.
Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup
kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal
cost.
c.
Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang
diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan
kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti
halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga
tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
d.
Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi
yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar
kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas
landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka
tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti
formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian
bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan
pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c)
memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
e.
Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan
mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas
dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak
semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan
(antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak
berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara
telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
f.
Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian
yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak
sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win),
tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa
melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada
di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan
pihak yang menang.
g.
Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan
penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing
pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka
miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan
demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
2.
Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah
minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi
sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak
mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang
diajukan pihak lain:
a.
setelah itu baru mereka mengadakan perundingan
(negotiation),
b.
sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing
ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi
(resolution).
3.
Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai
pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang
diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan
Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
a.
pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara,
majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
b.
setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan
majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan
putusan.
Akan tetapi,
dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang
digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas
saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui
perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di
negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea
Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat
menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui
konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Di
negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian
mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a.
pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
b.
kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari
penyelesaian melalui minirial
c.
ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk
mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
d.
keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru
diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap
kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan
perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak
langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan
tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari
penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke
pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan
kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai
the first resort.
Biasanya
lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase,
arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak
sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional
yang bersangkutan:
a.
sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi
pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
b.
hasil penyelesaian yang diambil berbentuk
resolution, bukan putusan atau award (verdict),
c.
oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk
resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan,
d.
dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu
bersifat binding (mengikat) kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak
menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal
yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke
pengadilan.
4.
Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa negara. Sistem
ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah
putusan. Dan memang demikian halnya.
Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada
seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
a.
orang yang diminta bertindak dalam adjudication
disebut adjudicator
b.
dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai
HAIM (act as judge),
c.
oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan
(give decision).
Pada
prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah
sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang
dapat menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh
seorang spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang
dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong
misalnya. Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui
lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai
kontruksi lapangan terbang.
Proses
penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul
sengketa:
a.
para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui
adjudication,
b.
berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang
adjudicator yang benar-benar profesional,
c.
dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi
kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision)
yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party),
d.
sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat
meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun secara
bersama-sama.
5.
Sistem Arbitrase
Mengenai
arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada
tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai
salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam
adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang
arbitrase.
Di Indonesia
ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah
terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan
yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan
perkembangan kebutuhan.
Memang banyak
persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
a.
sederhana dan cepat (informal dan quick),
b.
prinsip konfidensial,
c.
diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki
pengetahuan khusus secara profesional.
Namun,
demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental,
sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau
adjusdication.
Perbedaan yang
dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a.
Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive).
Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya
litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus
dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus
dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase
terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya
transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya
yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya
yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan
tanpa biaya atau nominal cost.
b.
Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu
prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure
and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi
kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang
diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula
penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau
puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan
arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing
law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
a.
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
b.
dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena
prosedural dan administratif;
c.
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d.
para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e.
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat
para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis
besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3
(tiga) golongan, yaitu:
a.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi,
baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan
pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
b.
Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik
yang bersifat nasional maupun internasional.
c.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase,
baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase
secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata,
namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
a.
Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan
faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter
dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
b.
Technical arbitration, yang tidak menyangkut
permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam
dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
c.
Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan
faktual dan hukum (question of fact and law).[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sengketa
adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah
satu diantara keduanya..
2.
tembok-tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh para
pencari keadilan, khususnya jika pencari keadilan tersebut adalah pelaku bisnis
dengan sengketa yang menyangkut dengan bisnis. Maka mulailah dipikirkan alternatif-alternatif
lain untuk menyelesaikan sengketa, diantaranya adalah lewat badan arbitrase.
3. Model-model penyelesaian sengketa adalah
sebagai berikut:
a. Sistem
Mediation
b. Sistem
Minitrial
c. Sistem
Concilition
d. Sistem
Adjudication
Jika Kuang lengkap dapat di klik link: Disini.
[1]http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/penyelesaian-sengketa-ekonomi-makalah-aspek-hukum-dalam-ekonomi/, (diakses pada tanggal
15/12/2014, pukul 20.25 WIB).
[2]http://sepengetahuan-ku.blogspot.com/2012/11/penyelesaian-sengketa-bisnis.html, (diakses pada tanggal
15/12/2014, pukul 20.30 WIB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar